APLIKASI TEKNIK NUKLIR UNTUK PETERNAKAN : TEKNIK RIA PROGESTERON UNTUK PENINGKATAN KINERJA REPRODUKSI DAN PRODUKSI TERNAK

Peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi telah lama dilakukan, yaitu dengan mengaplikasikan teknologi kawin suntik, atau yang lebih dikenal dengan Inseminasi Buatan (IB). Dengan IB, ternak akan dipantau gejala birahinya (secara visual), yang kemudian bila birahi itu terpantau, maka kawin suntik akan segera dilakukan. Data terakhir menunjukkan kisaran kawin suntik mencapai 85 %, dari seluruh cara yang dapat ditempuh untuk ternak menjadi bunting, sehingga cukup efektif untuk program peningkatan efisiensi reproduksi ternak sapi.Namun, dalam pelaksanaannya, keberhasilan IB yang berhasil dipantau oleh Direktorat Jenderal Peternakan barulah mencapai 45 %.

Keadaan di lapangan menunjukkan bahwa masih sering diketemukan banyaknya kasus IB-berulang yang beberapa penyebabnya adalah kegagalan ketepatan deteksi birahi, birahi tenang (birahi yang tidak terdeteksi), dan kemungkinan adanya kasus kelainan reproduksi yang sulit dipantau secara visual. Keadaan-keadaan yang terakhir ini membutuhkan adanya diagnose yang mendalam oleh tenaga ahli kesehatan ternak  (seperti dokter hewan) di lapangan. Penyebab keadaan tersebut lebih dominan disebabkan adanya kelainan fisiologis ternak yang bersangkutan, sehingga perlu dukungan bagi tenaga kesehatan ternak di lapangan untuk mendapatkan gambaran faali ternak yang dicurigai bermasalah, sebelum kemudian dilakukan perlakuan (treatment).

Aplikasi TN dengan teknik Radioimmuno assay (RIA), khususnya RIA untuk mendeteksi hormone progesterone, merupakan suatu cara untuk memberi dukungan dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak, terutama yang berkaitan dengan adanya kelainan saluran reproduksi dan dilakukan melalui deteksi konsentrasi hormone progesterone dalam serum atau susu.

Kawin suntik atau yang lebih dikenal dengan sebutan Inseminasi Buatan (IB) pada ternak ruminansia, telah menjadi suatu pilihan sebagai solusi untuk peningkatan angka kebuntingan sebagai upaya peningkatan populasi ternak. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan IB antara lain adalah : kesehatan ternak, asupan nutrisi yang seimbang, pencatatan sejarah (historical background) ternak, dan IB tepat waktu. Kegagalan IB di lapangan cenderung disebabkan karena penentuan waktu IB yang meleset (ternak di IB saat tidak birahi atau estrus).

Deteksi birahi di lapangan masih bergantung pada pengamatan visual kondisi ternak, yang ditandai di antaranya dengan 3A (Abang, Abuh dan Anget) pada vulva (kemaluan) ternak betina, nafsu makan yang kurang disertai saling menaiki satu sama lain (mounting). Kondisi ini ternyata tidak sepenuhnya menunjukkan ternak dalam kondisi birahi, sehingga IB tidak menghasilkan kebuntingan seperti yang diinginkan.

Prinsip Kerja Teknologi RIA Progesteron (P4)

Teknologi yang paling banyak digunakan untuk peningkatan populasi ternak, khususnya ternak ruminansia saat ini masih menggunakan teknik Inseminasi Buatan (IB, Artificial insemination). Selain dari keuntungan-keuntungan yang telah disebutkan sebelumnya, pemanfaatan IB cenderung meningkat dengan memperhatikan beberapa factor lain, di antaranya adalah efisiensi dalam penggunaan sperma pejantan, lebih murah, mudah diterapkan hingga tingkat petani ternak kecil, dan mudah dipantau. Keberhasilan pelaksaan IB tergantung pada akurasi hasil pengamatan terhadap gejala-gejala berahi ternak. Pengamatan berahi dilakukan berdasarkan pada kondisi dan tingkah laku ternak, seperti berkurang nafsu makan ternak, saling menaiki antara satu dengan yang lain (mounting), vulva vagina yang membengka, dan keluarnya lender dari vulva.

Agar kondisi birahi dapat diketahui secara lebih tepat, aplikasi teknik nuklir (TN) yang didasari dengan ikatan antigen dan antibody dapat dilakukan, yang dikenal dengan radioimmunoassay (RIA). Teknik RIA merupakan suatu cara pengukuran yang bersifat indirect, karena dari dari teknik RIA ini adalah kompetisi anatar hormone yang dilabel dengan radioisotope dengan hormone yang sama tetapi tidak di label (dalam sampel) untuk bersaing berikatan dengan antibody hormone yang diukur.

Salah satu hormone yang spesifik terhadap kondisi berahi ternak adalah progesterone. Dengan me-label hormone progesterone dengan radioisotope iodium-125 (125I), dan selanjutnya dengan membiarkan terjadinya kompetisi antara antibody yang berasal dari sampel dengan antibody yang berlabel, kondisi berahi “sebenarnya” (true estrus) dapat diketahui dengan tepat.

Dengan diketahuinya teknik RIA progesterone ini, maka pelaksanaan program peningkatan populasi ternak melalui IB dapat ditingkatkan laju keberhasilannya dan diharapkan akan bersifat lebih ekonomis.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, pengamatan berahi didasarkan pada tingkah laku sapi perah yang kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan IB, menunjukkan nilai jumlah IB per kebuntingan (service per conception : S/C) berkisar antara 2,9-3,6, khususnya pada ternak multiparus (yang telah melahirkan atau paritas >2).Keadaan ini menunjukkan bahwa IB dilakukan pada saat fase luteal atau anestrus. Status biologis ternak post partum untuk dapat dikawinkan kembali tergantung pada beberapa hal, antara lain ; ketepatan deteksi berahi secara visual, status fisiologis indung telur ternak, tingkat kualitas pakan dan kondisi lingkungan ternak.

Munculnya siklus berahi dan keberhasilan IB pasca melahirkan dengan tanpa pengulangan layanan IB merupakan keuntungan ekonomis daam suatu system pemeliharaan ternak. Namun, dengan tidak adanya keakuratan dalam mendeteksi berahi post partum, yang berdampak pada kegagalan IB di lapangan, akan mengakibatkan panjangnya interval waktu antar kelahiran. Keadaan ini mengakibatkan kerugian cukup besar akibat biaya pemeliharaan yang dikeluarkan tanpa menghasilkan keturunan (yang berarti keuntungan). Pengamatan berahi yang dikombinasikan dengan memperhatikan kondisi atau status fisiologis indung telur masih jarang dilakukan, khususnya pada ternak ruminantia besar post partum. Fase luteal merupakan salah satu kondisi fisiologis pada organ reproduksi dapat digunakan sebagai acuan dalam mendeteksi munculnya berahi secara lebig akurat. Pada fase ini korpus luteum pada ovarium mensekresikan hormone progesterone. Hasil penelitian terdahulu menunjukkan keberadaan konsentrasi hormone progesterone dalam plasma, serum dan susu ditentukan dengan adanya corpora lutea (KL) yang terbentuk setelah pelepasan sel telur (ova) pada ovarium.

Teknologi RIA-P4 untuk deteksi birahi

Siklus birahi (estrus) ternak betina dapat dipindai dengan siklus birahi yang ditandai dengan 2 lembah dan 1 gunung kurva konsentrasi p4. Lembah yang mengapit gunung konsentrasi P4 merupakan saat terjadinya pelepasan sel vulasi0 dan diekspresikan oleh ternak betina dengan birahi (estrus).

IB di saat lembah P4 mempunyai peluang yang lebih besar (sampai dengan 85%) kebuntingan. Keadaan ini akan dicapai selam ternak dalam kondisi sehat dan kualitas semen/sperma yang baik. Agar memudahkan pemantauan aktivitas yang terjadi pada indung telur, interpretasi konsentrasi hormone P4 dibagi menjadi 3 bagian seperti yang disajikan pada table berikut :

Tingkat konsentrasi hormone P4 9nmol/L)

Interpretasi

<1

Tidak tersedia KL, tidak ditemukan aktivitas pada ovarium

1-3

Tingkat konsentrasi hormone P4 yang meragukan, dapat diartikan dengan berbagai macam keadaan reproduksi. Konfirmasi dari tenaga medis/veteriner di lapangan diperlukan

>3

Terdapat kegiatan/aktivitas pada ovarium, dapat diartikan sebagai kebuntingan

 

Teknologi RIA-P4 untuk deteksi dini kegagalan IB

Teknik RIA P4 yang didasari dengan monitoring hormone P4, bermanfaat pula untuk pemantauan hasil IB yang berhasil (menghasilkan kebuntingan) atau tidak (gagal bunting).

Kegagalan IB dapat segera diketahui sebelum 3 minggu setelah dilakukan IB. Keadaan ini merupakan penghematan apabila deteksi gagal IB dilakukan secara konvensional (rektal palpasi) yang baru dapat diterapkan minimum 6 minggu setelah IB 9khususnya bagi ternak yang tidak menunjukkan respon birahi kembali setelah gagal IB).

Teknologi RIA-P4 untuk diagnosis kelainan reproduksi ternak betina

Tidak adanya birahi setelah melahirkan dan tidak dapat bunting setelah kelahiran sebelumnya adalah merupakan contoh kasus kelainan reproduksi ternak betina di lapangan. Gejala ini sulit diantisipasi dengan pengamatan secara visual.

Diagnosis dengan menggunakan tenaga medis ternak dapat dilakukan, namun dengan keterbatasan dana sulit untuk dikerjakan. Keadaan ini lebih cenderung disebabkan karena adanya kelainan kinerja indung telur dan rahim ternak betina. Untuk itu, RIA P4 dapat diaplikasikan untuk memantau adanya kelainan tersebut, sehingga antisipasi dapat segera dilakukan dan ternak dapat segera pulih dan normal untuk bisa berreproduksi kembali.  

Penerapan RIA P4 di lapangan

Kerjasama dengan koperasi unit desa dan atau pos kesehatan hewan (POSKESWAN) di lapangan dapat dijadikan sebagai suatu cara untuk dapat menerapkan teknik RIA P4 di lapangan, khususnya pada daerah dimana populasi ternak betina atau usaha peternakan yang ada lebih memfokuskan pada ternak betina. Kegiatan aplikasi teknik RIA P4 untuk menunjang kinerja reproduksi telah dilakukan dengan koperasi unit Desa (KUD) Susu Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut. Selain itu, untuk lebih mendukung program kegiatan aplikasi RIA P4 untuk peternakan ini, telah dilakukan kegiatan pelatihan dan pembentukan laboratorium mini untuk pelaksanaan RIA P4. Kegiatan ini dilakukan bekerjasama dengan Dinas Peternakan Kabupaten Garut yang diadakan di KUD Susu Kecamatan bayombong Kabupaten Garut.

Pelatihan pemanfaatan RIA P            4 untuk peternakan ini melibatkan 20 orang petugas lapangan dan laboratprium kesehatan hewan (inseminator, mantra hewan, dan teknisi lab) dan tenaga medis ternak (Veteriner/dokter hewan). Dalam pelatihan, teknik pengambilan dan analisis sampel serta interpretasi hasil analisis sampel diberikan pada peserta oleh tenaga peneliti dan teknisi lanjutan PATIR dan PRR Batan.

Dampak aplikasi teknik RIA P4 untuk peternakan

Aplikasi teknik RIA Progesteron di lapangan perlu dilakukan seiring dengan pendataan atau pencatatan setiap individu (individual record) ternaknya. Dengan pelaksanaan recording yang teratur dan tertata baik dan informasi dari kondisi biologis reproduksi ternak yang terekam yang dibantu dengan aplikasi RIA P4, serta pemeliharaan yang baik, peningkatan kinerja reproduksi dapat tercapai, seperti yang diilustrasikan dengan data table sebagai berikut .

Table hasil pengamatan untuk kinerja reproduksi yang ditandai terdeteksinya hormone progesterone dengan teknik RIA P4 Peternakan pada tewrnak sapi perah paska melahirkan dan kondisi biologi ternak sapi perah setelah pelaksanaan IB.

 

Parameter K1(Tradisional dan tanpa recording baik) K2(Aplikasi RIA P4, recording & pakan yang baik)
Tenggang waktu antara kelahiran hingga ovulasi I paska kelahiran (Hari)

99,2±10,2

55,5±4,6

Tenggan waktu antara kelahiran hingga pelaksanaan IB I (Hari)

136,1±6,9

96,7±13,6

Tenggang waktu antara kelahiran hingga kebuntingan (conception) berikutnya (Hari)

198,7±14,9

103,0±3,0

Tenggang waktu antara dua kelahiran (Hari)Jumlah IB per kebuntingan

403,8±7,7

3,4

371,3±15,6

2,3

Laju Kebuntingan

29,4

43,5

Pusat Diseminasi Iptek Nuklir,  BATAN, Panduan Petugas Layanan Informasi, Jakarta.

Pusat Diseminasi Iptek Nuklir,  BATAN, Buku Pintar Nuklir, Jakarta.

Pusat Diseminasi Iptek Nuklir,  BATAN, Atomos, Media Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir,  Jakarta.

 

Oleh : Endang Megawati S.Pd.M.Pd.I

© sman6.sch.id | Share :
Kembali ke Halaman Utama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>